Skip to main content Skip to search Skip to header Skip to footer

Keluarga kami tidak lagi tunawisma

Dari Bentara Ilmupengetahuan Kristen - 1 Januari 2011

Diterjemahkan dari Christian Science Sentinel, edisi 19 April 2010


Isteri saya dan saya tinggal di lingkungan yang nyaman, di Vermont, dekat Dartmouth College, di sebuah rumah yang telah kami mikili selama 18 tahun. Sulit membayangkan bahwa 30 tahun yang lalu saya tunawisma dan harus menanggung keluarga saya.

Isteri saya dan saya melakukan perjalanan dengan mobil dari New England ke California bersama kedua putri kami yang berumur satu dan tiga tahun dan harta milik yang dapat dimuat ke dalam  mobil kami. Kami merasa agak gamang tinggal di pantai Timur, dan pergi ke Barat untuk mencari kehidupan yang lebih baik, seperti banyak dikisahkan tentang orang Amerika. Kami pergi, tidak tahu apa yang akan kami dapatkan.

Kami sampai di pantai Barat musim semi 1980 dan dengan tekun mulai mencari rumah dan pekerjaan. Kami berdua  berumur sekitar duapuluh lima tahun. Saya telah menyelesaikan kuliah selama dua tahun dan memiliki ketrampilan di bidang pengerjaan metal, yang saya peroleh melalui program pemerintah. Tetapi saya juga memiliki sesuatu yang jauh lebih berharga: suatu keyakinan bahwa Allah akan menolong saya dan menyelamatkan  kami dari kesulitan.

Keyakinan ini saya peroleh karena selama hidup saya, saya melihat hubungan antara yang saya pelajari tentang Allah dan kebaikan yang saya alami dalam kehidupan saya sehari-hari. Misalnya, waktu saya masih muda, orang tua saya selalu berpaling kepada Allah melalui doa, dan saudara perempuan saya dan saya mengalami kesembuhan yang menakjubkan dari berbagai penyakit anak-anak. Saya telah mengalami kuasa Allah, atau Roh, dalam mengatasi keadaan yang tidak selaras. Dan saat kelahiran anak kami yang pertama, saya merasa siap memberikan dukungan kepada isteri saya. Setelah berdoa selama beberapa menit di rumah sakit, saya merasakan ketenangan yang nyata dia kamar bersalin, dan para perawat yang siap membantu pun datang, dan kelahiran puteri kami menjadi semakin mudah.

Mary Baker Eddy menulis dalam buku Ilmupengetahuan dan Kesehatan dengan Kunci untuk Kitab Suci bahwa “semua dapat berpaling kepada Allah sebagai ‘penolong dalam kesesakan sangat terbukti.’” Dan dia menggambarkan Kasih, Allah, sebagai “sumber terbuka yang berseru: ‘Ayo, hai semua orang yang haus, marilah dan minumlah air.’”  Pemikiran ini sangat membantu saat kami mulai mencari rumah dan pekerjaan di California. Saya merasa pasti bahwa Allah akan membimbing kami ke tempat kami yang benar.

Saat mencari rumah dan pekerjaan, kami  sampai ke sebuah kota kecil di  Mojave Desert. Selama ini kami tinggal di mobil, dan karena saat itu musim semi, setiap sore kami mencari tempat umum untuk memarkir mobil dan tidur di kantung tidur kami di taman atau di udara terbuka. Tabungan kami yang hanya sedikit telah habis dalam waktu singkat dan kami menerima makanan dari para dermawan yang tidak kami kenal.  Isteri saya mengurus anak-anak, memastikan bahwa mereka dapat makan secukupnya, tetapi kelihatannya keadaan kami suram.  

Kami terus mencari rumah di kota kecil itu. Setelah beberapa hari berusaha tanpa hasil, kami menemukan sebuah rumah kosong  yang tidak terpelihara dan pecahan kaca beserakan di halamannya. Saya berpikir, “Pemilik rumah ini akan senang ada orang yang mau menyewa rumah ini.” Meskipun bukan tempat yang saya inginkan, kelihatannya itu harapan terakhir kami.

Pemiliknya, sepasang suami isteri, mengundang kami masuk ke ruang keluarga, dan kami duduk serta bercakap-cakap dengan ramah. Keramaham serta keinginan mereka untuk membantu kami membangkitkan harapan saya. Kemudian mereka menjelaskan, bahwa mereka telah sepakat untuk tidak menyewakan rumah kepada orang yang tidak membawa perabotan dan dengan sopan tetapi tegas menyilakan kami pergi.

Mula-mula saya tergoda untuk marah atas penolakan yang mengagetkan tersebut. Apakah mereka menyadari telah menolak orang-orang yang suka damai dan beritikad baik? Dan saya merasa bahwa itulah harapan terakhir kami. Kami masih tetap tidak mempunyai pekerjaan, sumber penghasilan, tempat tinggal, dan saat itu kami sudah lebih sebulan menjadi tunawisma.

Kemudian, dengan segera saya teringat kata-kata Yesus ini: “Kasihilah musuhmu … dan kamu akan menjadi anak-anak Allah Yang Mahatinggi” (Lukas 6:35). Anjuran Yesus merupakan perintah khusus yang memungkinkan kita mengalami lebih banyak pertolongan Allah saat menghadapi kesulitan.  Sebagaimana saya pahami, kita tidak perlu takut akan “musuh” yang bersifat perorangan; sesungguhnya, musuh hanyalah ide akan perlawanan, atau sesuatu yang menyatakan dapat melawan pernyataan Allah.  Seringkali kita berhadapan dengan suatu pikiran  dan secara mental bergumul mengenai hal itu. Apakah kita harus membenci diri kita sendiri karena pergumulan itu? Atau melepaskannya dan terus maju?  

Dan bagaimana jika musuh kita berusaha mencederai kita? Saat Yesus menegur orang-orang yang mendengarkan kata-katanya di  rumah ibadat dan orang banyak yang marah membawanya ke tebing gunung untuk melemparkannya, Yesus berjalan lewat dari tengah-tengah mereka tanpa cedera (lihat Lukas 4:16-32).  Kuasa Allah melindungi kita dari cedera fisik, dan juga dari kekalahan terhadap setiap ide yang hendak melawan keselarasan ilahi.

Saya pun segera berhenti memikirkan penolakan pemilik rumah tersebut, dan hanya memusatkan pikiran untuk mengasihi mereka seperti saya akan mengasihi seorang teman atau anggota keluarga. Meskipun sakit rasanya ditolak, saya menyadari bahwa saya dapat mengasihi tanpa syarat, seperti yang diajarkan Yesus. Tidak lama kemudian semua perasaan terluka lenyap, dan menjadi mudah untuk melihat pemilik rumah itu sebagaimana mereka sesungguhnya—orang-orang yang sopan, baik hati, dermawan. Saya rasa hal ini mudah karena saya membaca Alkitab; saya merasa yakin Allah akan menghibur dan melindungi kami.

Saat itu saya juga sedang membaca Kisah Para Rasul dari Alkitab, yang menceriterakan pekerjaan yang dilakukan murid-murid Yesus. Seperti Yesus yang adalah anak seorang tukang kayu, para muridnya juga orang-orang biasa: nelayan, pemungut cukai. Mereka adalah orang-orang yang ditemukannya dalam perjalanannya saat mengajar. Dan mereka mengikutinya. Mereka telah belajar tentang sifat rohaniah manusia serta kasih Allah bagi mereka karena mereka melihat ajaran itu dinyatakan dalam diri Yesus. Sedang saya membaca, untuk pertama kalinya saya menyadari bahwa mereka itu adalah orang-orang biasa seperti saya, dengan masalah-masalah yang dapat saya pahami. Dan mereka telah mengatasi masalah mereka dengan hidup sesuai yang diajarkan Yesus. Oleh karena itu saya pun berusaha mengikuti teladan Yesus, dan mengasihi pemilik rumah itu tanpa syarat.

Sedang saya berdoa, dengan segera saya merasa tergerak untuk melihat ke arah tertentu, seakan seseorang memutar kepala saya.  Tetapi tidak ada seorang pun di belakang saya. Saya merasa bahwa ini merupakan pesan ilahi, dan saya bertanya pada diri sendiri, “Apa yang ingin ditunjukkan Allah kepada saya?”

Saya sadar bahwa saya memandang ke seberang kota, ke arah rumah kecil yang indah yang kami kunjungi sehari sebelumnya dan yang kelihatannya sangat ideal untuk kami. Tetapi ketika menanyakan kepada pemilik rumah, dia mengatakan bahwa rumah itu telah disewakan. Sekarang menjadi jelas bagi saya bahwa kami harus kembali ke rumah itu.

Kami pun kembali menemui pemilik rumah. Dia membukakan pintu dan heran serta tertegun melihat kami. Dia menjelaskan, bahwa orang yang akan menyewa rumahnya tidak datang. Jadi apa yang harus dilakukannya? Dia mengatakan agar kami kembali sesudah beberapa waktu. Ketika keesokan harinya kami datang, si penyewa tetap tidak muncul, dan pemilik rumah setuju untuk menyewakannya kepada kami. Di situlah kami tingal selama dua setengah tahun. Isteri saya mengurus anak-anak, dan putri   pertama kami mulai masuk taman kanak-kanak di kota itu. 

Beberapa hari sebelumnya, di sebuah tempat parkir di dekat taman kota, saya duduk di mobil berdoa dengan tekun tentang kesalahan yang saya lakukan  waktu remaja. Saya merasa telah mendahulukan popularitas di atas keyakinan saya, dan di kota gurun di California itu, dengan rendah hati saya berdoa agar dapat merasa diampuni, merasa yakin bahwa sejak saat itu saya akan selalu bergantung kepada Allah untuk mendapatkan kesembuhan. Tepat saat itu, seorang yang tidak saya kenal datang menawarkan beberapa ban yang akan dibuangnya. Lalu ia berceritera bahwa dia baru saja berhenti bekerja di suatu bengkel pengerjaan metal. (Dia berencana bergabung dengan suatu kelompok sirkus!) Dia menganjurkan agar saya pergi ke perusahaan yang baru saja ditinggalkannya, karena saya akan mendapatkan pekerjaan di sana.  Saya memiliki pengalaman dalam pengerjaan metal melalui kelas yang saya ikuti, jadi saya mencari tahu ke perusahaan itu, dan di situlah saya bekerja dan mendapatkan nafkah selama kami tinggal di California.

Kita tidak selalu mengetahui bagaimana Allah, Ibu-Bapa kita, akan menolong kita—kita hanya mengetahui bahwa Dia akan menolong, dan bahwa kita harus terbuka dan mematuhi bimbinganNya. Saya sangat bersyukur bahwa keluarga muda saya dan saya dipelihara oleh keselaran ilahi di masa-masa yang sulit, saat kami tuna wisma dan menjadi pengangguran, “…kemajuan adalah hukum Allah, dan hukumNya hanya menuntut kepada kita yang pasti dapat kita laksanakan” (Ilmupengetahuan dan Kesehatan, hlm. 233). 

Misi Bentara

Pada tahun 1903, Mary Baker Eddy mendirikan Bentara Ilmupengetahuan Kristen. Tujuannya: “untuk memberitakan kegiatan serta ketersediaan universal dari Kebenaran.” Definisi “bentara” dalam sebuah kamus adalah “pendahulu—utusan yang dikirim terlebih dahulu untuk memberitakan hal yang akan segera mengikutinya,” memberikan makna khusus pada nama Bentara dan selain itu menunjuk kepada kewajiban kita, kewajiban setiap orang, untuk memastikan bahwa Bentara memenuhi tugasnya, suatu tugas yang tidak dapat dipisahkan dari Kristus dan yang pertama kali disampaikan oleh Yesus (Markus 16:15), “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk.”

Mary Sands Lee, Christian Science Sentinel, 7 Juli 1956

Belajar lebih lanjut tentang Bentara dan Misinya.